Oleh : Putri Jepara
Sejak kelas 5 SD, Ibu telah melatih diriku untuk menghafal Al-Qur’an sedikit demi sedikit. Di setiap malam, aku menyetorkan sedikit hafalanku pada ibu. Bahkan ditengah malam pun, ibuku rela menyimak hafalanku. Katanya, “Ibuk wae gelem ngrumati Qurane wong akeh, opo meneh kok kon ngtrumati Qura’ne anake dewe. Wis jelas gelem tho!” Dengan sabar dan telaten ibu membimbingku, menemaniku, dan menunutunku untuk menggapai kelezatan yang Allah janjikan dan Al-Qur’an tawarkan.
Setiap harinya, aku hanya menyetor hafalan sebanyak satu hingga tiga ayat, atau setengah halaman. Tidak pernah lebih dari setengah halaman disetiap harinya. Hingga pada suatu ketika, aku dapat menghafal lebih dari setengah halaman pada juz 28. Betapa bahagianya aku, bisa mengalami pencapaian. Namun, rasa itu sirna ketika setoran hafalanku tidak lancar dan ibuku marah karena hal tersebut, “Diilekke pisan pindo iku langsung dilebokke lan dicatet ning pikiran, langsung diiling-iling!! Ojo kok salah nganti diilekke ping telu!!!” bersamaan dengan itu, botol disamping ibuku ikut melayang. Air mataku tumpah, berkali kali ibu memarahiku perihal hafalan, namun baru kali ini hatiku tersayat atas perkataan beliau. Dengan begitu aku semakin tahu, bahwa ibu sangat menyayangiku, sangat peduli kepadaku juga urusan ukhrawiku.
Dipenghujung tahun kelas 6 SD, hafalanku sudah mencapai 2 juz setengah. Yaitu juz 30, 29, dan 28 setengah awal. Melihat ketidakseriusanku, ibuku merasa resah dan geram. Sehingga ibu memutuskan agar aku melanjutkan sekolah di PP. Al-Husna, Jepara. Alhamdulillah, disana hafalanku bertambah. Semua berjalan baik-baik saja hingga pada tahun kedua, Allah menguji keimananku dengan memberi sedikit cobaan. Ya, ketika liburan pondok aku mengenal seorang santri putra melalui Whatsapp. Baru kali ini aku mengenal pria asing dan hatiku sudah menolak untuk melanjutkan pertemanan ini. Namun nafsu berhasil mengalahkan akal sehatku, jadilah kemaksiatan ini berlanjut. Karena Al-Qur’an adalah kalam yang suci, sudah sepatutnya ditempatkan di tempat yang suci juga. Maksiat inilah yang dapat mengotori hati, hingga hafalanku terganggu dan hanya berhasil mendapatkan 12 juz di akhir kelas 9. Sedih dan gelisah menyelimuti hati. Bagaimana tidak, aku merasa gagal dan kalah dari adikku yang hafalannya sudah mencapai 26 juz di usia sebelas tahun.
Sepandai apapun aku menutupi masalahku, ibuku pasti akan tahu juga. Karena itu, ibuku di bawah pohon rindang berkata “Awakmu iku wes lurus dalane, ndelalah kok yo ono setan sing ngejak menggok (maksiat). Nak awakmu menggak-menggok, kapan lehmu tekan tujuan?” peringatan dari ibu yang membuatku termenung dan berfikir panjang.
Atas masalah yang menimpa, hubunganku dengan ajnabiy itu membuat ibu prihatin akan hafalan Al-Qur’anku. Jalan keluar yang diambil beliau yaitu memondokkanku di Yanbu’ul Qur’an Putri agar dapat lebih fokus terhadap hafalan. “Gausah sekolah gak popo, sing penting Qura’ne. Dadi, gak ono alesan mbatek sekolah lah, mbatek Alfiyah lah. Engko ning kono, fokuse cuma Qur’an, Qur’an, Qur’an!!” begitu kata ibu, yang membuatku menjadi gelisah dan takut, ‘Bagaimana hariku bila dipenuhi dengan hafalan saja? sambil sekolah aja bosen, apalagi kalau cuma fokus ngafalin.’ batinku.
Pada hari Senin, 26 Syawwal, seusai ibu dan aku membaca doa khotmil Qur’an dalam acara sima’an rutinan, beliau dikejutkan oleh pemberitahuan hasil seleksi santri PTYQ via Whatsapp. Dalam pemberitahuan tersebut tertulis dua kata yang berhasil mengeluarkan air mata ibu. Ya, dengan izin Allah dan doa ibu, aku ‘lulus seleksi’ santri baru PTYQ Putri. Beliau menangis sebagai tanda syukur pada Allah, nikmat yang tidak semua orang bisa merasakannya. “Nak pengen pacaran, pacarono Al-Quran! Nek ono juz sing ape ilang, dipeluk, cedaki neh, dikejar, dideres terus nganti kecekel. Ojo sampe apalanmu ilang! Kudune ancen nduwe tanggung jawab ngrumati pacarmu (Al-Quran) kanthi tenanan.” Aku menyimak dawuh beliau seksama. “Nak awakmu tak kon milih, milih Al-Qur’an opo suami?” aku terdiam mendengar pertanyaan beliau. “Nak ibu milih Al-Quran. Soale isoh ngancani dunia nganti akhirat. Coba nak suami, ngomonge, ‘aku bakal setia sehidup semati’. Omong kosong! Opo bener, yen bojo wedokke mati, sing lanang melu mati? Ogak kan? Biasane nak sing wedok mati, sing lanang golek bojo anyar. Nek Qur’an bedo! Ngancani terus selawase dunia akhirat, mlaku nek dalan surga yo dikancani, nek ono malaikat seng nakoi yo Qur’anmu kui melu jawab. Kudune semangat lek mu ngapalno.” Kata ibu dengan penuh kelembutan.
Aku berusaha meneguhkan hati, menghafalkan Al-Qur’an tanpa mencampur dengan kemaksiatan. Aku paham, bahwa maksiat bisa menyebabkan gelapnya hati yang akhirnya berimbas pada kualitas hafalan. Kusimpan dawuh ibu dalam lubuk hati untuk kujadikan sebagai pengingat diri. “Nek mbak salwa nek Yanbu’ kudu boyong, gak kuat, ileng tujuan teko omah opo? Rak yo siji tok ra? Ngatamke qur’an! Wes tah percoyo, cekelo omongane ibu! Nek wes apal Qur’an, lancar, dadi ahlul qur’an, bakale mulyo donyo akhirat.” Memang, raga ibu tidak menemani disini, aku disini seorang diri dan dituntut untuk mandiri. Tapi nasihat ibu selalu mengawal perjalananku dalam mengaji. Ingat dawuh mbah, ‘MELEK MOTO MELEK QUR’AN’ lantas ku sadarkan hatiku, bahwa pacarku adalah Al-Qur’an, dan aku punya tuntutan untuk menuntaskan hafalan.
PTYQ Putri